Sembilan
Desember, Hari Anti Korupsi Sedunia. Barangkali angka sembilan tidak memberi
arti penting menurut penanggalan Cina. Berbeda dengan angka delapan (ba), yang
sering dihubungkan dengan hari-hari keberuntungan. Perhatikan misalnya, situasi
politik di Cina dengan mencuatnya Xi Jinping yang dikaitkan dengan almanak
pertemuan/kongres Partai Komunis Cina pada tanggal 8 dan 18.
Tanggal
sembilan yang terpilih memperingati hari anti korupsi sedunia, sungguh
memberikan keuntungan tersendiri bagi pelaku korupsi di Indonesia dan
sebaliknya membawa kebuntungan bagi rakyat. Sehari-hari kita menyaksikan
bagaimana di media-media dikabarkan kasus pejabat yang korupsi, namun tak satu
pun ditindak tegas. Barangkali kekayaan telah menjadi pilihan utama pejabat
kita, sekalipun dengan cara korupsi.
Janji
SBY
Masih
segar dalam ingatan kita bahwa Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengtakan
bahwa dia akan menjadi panglima perang dalam memimpin pemberantasan korupsi.
Pernyataan tersebut adalah senjata pamungkas yang kita tunggu-tunggu sejak dari
presiden-presiden sebelumnya mulai awal reformasi. Tentu saat itu, pernyataan
ini mengangkat kepercayaan publik. Membanggakan.
Hari
berganti hari, bulan pun begitu dan sampai sekarang pernyataan tersebut basi.
Ibarat nasi yang dijanjikan untuk orang lapar, namun tak jadi diberikan dan
akhirnya basi. Lapar pun berubah menjadi iblis (Rendra). Demikianlah janji Pak
BeYe dengan manis, tetapi bertujuan menyiksa rakyatnya sendiri.
Korupsi
merajalela. Dari pejabat tingkat atas hingga kepala desa bahkan kepling,
semuanya korupsi. Rasanya pantang jika tak melakukan korupsi di tubuh birokrasi
bagi pejabat-pejabat kita. Ironis. Sebuah sifat yang terbawa entah dari mana
atau melebihi pendahulu yang mana, kita tidak tahu. Tidak bisa dimungkiri,
porak-porandanya bangsa Indonesia sejujurnya telah disumbang para pejabat
korup. Kadang bernegara Indonesia, kita sudah muak, bosan hanya karena ulah
pejabat yang tidak tahu malu. Pejabat negeri ini hanya mempertontonkan
kekecewaan saja setiap harinya.
Walaupun
begitu, rasa malu juga sepertinya tidak tertahankan. Pemerintahan SBY
menyerukan kemajuan di mata internasional. Hal ini misalnya terungkap lewat
alasan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh terus hingga 6,5 persen. Tentu saja
reputasi kita masih diakui luar negeri. Dengan demikian, borok yang bobrok di
dalam negeri tidak menjadi persoalan di mata dunia. Artinya, Indonesia (seolah)
masih mampu mengurusi diri sendiri.
Hebatnya
retorika dalam berita kita ke luar negeri, semakin menyakitkan saja di dalam
negeri. Korupsi pun menggerogoti perahu negeri tak habis-habisnya tanpa ada
perangkap atau hukuman yang tegas. Berakar dan berkembang dari ketidakjelasan
hukum ini, maka mandullah peradilan kita hingga merembes ke segala perkara yang
merugikan negara di luar tindak pidana korupsi. Lagi-lagi rakyat yang telah
mengencangkan ikat pinggangnya karena menahan lapar tak diperhatikan oleh
negara.
Jejak-jejak
korupsi yang dapat secara gamblang kita ketahui menimbulkan pertanyaan baru.
Apakah janji SBY dalam memimpin pemberantasan korupsi hanya sebatas liv service semata? Mungkinkah
pernyataan itu keluar dari seorang SBY sebagai manusia biasa atau sang jenderal
tertinggi di negeri ini? Jika itu keluar dari mulut seorang manusia biasa,
betapa hinanya rakyat ini mendengar cakap pongah yang tak berisi itu? Rakyat
kelaparan di Indonesia hari ini, bukan sedang tinggal dalam dunia ilusi. Pada
sisi lain, jika janji tadi keluar dari mulut seorang RI 1, di mana tindakan
konkret presiden dalam kasus-kasus korupsi?
Hentikan
perampokan
Pejabat
kita telah berlomba korupsi. Apa boleh buat. Semua berjalan mulus karena
Presiden SBY tidak tegas bahkan ia menelan janji basinya sendiri. Kepongahan
penguasa pun dilanjutkan. Tak ayal perampokan uang negara berlanjut terus
sampai-sampai mempersoalkan kehadiran KPK karena dinilai terlalu berwenang.
Data
terbaru mengenai cerita perampokan uang rakyat ini adalah senilai Rp 39,3
Triliun yang dihitung sejak 2004-2011 atau setara dengan pembangunan 393.000
rumah sederhana (Kompas, 5/12). Itu pun masih perhitungan “baik-baik”. Jika
kita menoleh pada perhitungan ICW, misalnya, hal itu masih terlalu kecil atau
sebagai puncak gunung es. Artinya, hasil rampokan para penjahat berdinas telah
menyebabkan pemiskinan struktural. Lalu sampai kapan ini terjadi?
Refleksi
bangsa ini terhadap korupsi tidak bisa tidak secepatnya harus mengubah haluan.
Haluan pemerintah yang selama ini tidak tegas menindak kasus perampokan uang
rakyat supaya segera diakhiri. Menimbang hukum di negeri sungguh kurang tepat.
Sebab hukum kita sudah berantakan, bahkan lebih jahatnya lagi, penegak hukum
sendiri termasuk pelaku perampokan uang rakyat. Ironi ini sepertinya harus
dijawab dengan kepedihan, jika tidak korupsi bukan hanya beregenerasi namun
mungkin permanen.
Berharap
terhadap pemerintah, misalnya SBY sebagai pucuk pimpinan sudah tidak ada
gunanya. Biarlah beliau menjalankan masa jabatannya dengan tenang. Karena itu,
lain kali, rakyat sudah sesadar-sadarnya memilih pemimpin. Dalam keyakinan
bersama, Indonesia pasti maju di masa mendatang, maka cukuplah sampai di sini
buta terhadap calon pemimpin negeri kita. Kita tidak mau lagi ada pemimpin,
tapi melanggengkan yang namanya korupsi. Lebih jauh, tak satu pun kebijakannya
berdasarkan kenyataan yang diinginkan rakyat. Hampir segala kebijakannya
diarahkan ke langit, langitnya kapital.
Hendaknya
melalui refleksi ini, kita tidak lagi terusik menyoal korupsi yang sudah
sistemik. Saat ini, integritas di negeri ini telah dihilangkan pejabat korup
dan pemerintah penindas rakyat itu. Ke depan, melalui pergulatan sama-sama,
kita membawa nasib bangsa ke pintu gerbang kemerdekaan. Keserakahan,
keangkuhan, kepongahan penguasa negeri hari ini bukan saja melukai secara
moral, justru telah menciptakan dan melanggengkan penderitaan rakyat.
Perampokan dilakukan dengan seenaknya. Tak ada lagi hukum yang dapat memaksanya
berhenti, sebab juga pemerintah telah diam.
Walaupun tertanggal sembilan, marilah kita rakyat yang
memulihkan bangsa ini dari sarang perampokan. Sejatinya hanya rakyat sendiri
yang bergerak, lalu kemudian pejabat korup mengerti arti penindasan. Sungguh
teramat sayang, kala negeri ini merdeka dari penjajah Belanda dan Jepang, namun
kini malah seenaknya diulang oleh penguasa yang tak tahu perjuangan. Karena itu
toleransi terhadap perampokan uang negara sudah tidak ada batasnya. SBY sendiri
telah berpesta di tengah-tengah penderitaan rakyatnya. Maka tak ada cara lain,
selain rakyatlah yang menghentikan segala bentuk perampokan uang kita.***