Sabtu, 08 Desember 2012

Janji Kosong SBY Oleh Jakob Siringoringo



 
            Sembilan Desember, Hari Anti Korupsi Sedunia. Barangkali angka sembilan tidak memberi arti penting menurut penanggalan Cina. Berbeda dengan angka delapan (ba), yang sering dihubungkan dengan hari-hari keberuntungan. Perhatikan misalnya, situasi politik di Cina dengan mencuatnya Xi Jinping yang dikaitkan dengan almanak pertemuan/kongres Partai Komunis Cina pada tanggal 8 dan 18.
            Tanggal sembilan yang terpilih memperingati hari anti korupsi sedunia, sungguh memberikan keuntungan tersendiri bagi pelaku korupsi di Indonesia dan sebaliknya membawa kebuntungan bagi rakyat. Sehari-hari kita menyaksikan bagaimana di media-media dikabarkan kasus pejabat yang korupsi, namun tak satu pun ditindak tegas. Barangkali kekayaan telah menjadi pilihan utama pejabat kita, sekalipun dengan cara korupsi.
Janji SBY
            Masih segar dalam ingatan kita bahwa Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengtakan bahwa dia akan menjadi panglima perang dalam memimpin pemberantasan korupsi. Pernyataan tersebut adalah senjata pamungkas yang kita tunggu-tunggu sejak dari presiden-presiden sebelumnya mulai awal reformasi. Tentu saat itu, pernyataan ini mengangkat kepercayaan publik. Membanggakan.
            Hari berganti hari, bulan pun begitu dan sampai sekarang pernyataan tersebut basi. Ibarat nasi yang dijanjikan untuk orang lapar, namun tak jadi diberikan dan akhirnya basi. Lapar pun berubah menjadi iblis (Rendra). Demikianlah janji Pak BeYe dengan manis, tetapi bertujuan menyiksa rakyatnya sendiri.
            Korupsi merajalela. Dari pejabat tingkat atas hingga kepala desa bahkan kepling, semuanya korupsi. Rasanya pantang jika tak melakukan korupsi di tubuh birokrasi bagi pejabat-pejabat kita. Ironis. Sebuah sifat yang terbawa entah dari mana atau melebihi pendahulu yang mana, kita tidak tahu. Tidak bisa dimungkiri, porak-porandanya bangsa Indonesia sejujurnya telah disumbang para pejabat korup. Kadang bernegara Indonesia, kita sudah muak, bosan hanya karena ulah pejabat yang tidak tahu malu. Pejabat negeri ini hanya mempertontonkan kekecewaan saja setiap harinya.
            Walaupun begitu, rasa malu juga sepertinya tidak tertahankan. Pemerintahan SBY menyerukan kemajuan di mata internasional. Hal ini misalnya terungkap lewat alasan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh terus hingga 6,5 persen. Tentu saja reputasi kita masih diakui luar negeri. Dengan demikian, borok yang bobrok di dalam negeri tidak menjadi persoalan di mata dunia. Artinya, Indonesia (seolah) masih mampu mengurusi diri sendiri.
            Hebatnya retorika dalam berita kita ke luar negeri, semakin menyakitkan saja di dalam negeri. Korupsi pun menggerogoti perahu negeri tak habis-habisnya tanpa ada perangkap atau hukuman yang tegas. Berakar dan berkembang dari ketidakjelasan hukum ini, maka mandullah peradilan kita hingga merembes ke segala perkara yang merugikan negara di luar tindak pidana korupsi. Lagi-lagi rakyat yang telah mengencangkan ikat pinggangnya karena menahan lapar tak diperhatikan oleh negara.
            Jejak-jejak korupsi yang dapat secara gamblang kita ketahui menimbulkan pertanyaan baru. Apakah janji SBY dalam memimpin pemberantasan korupsi hanya sebatas liv service semata? Mungkinkah pernyataan itu keluar dari seorang SBY sebagai manusia biasa atau sang jenderal tertinggi di negeri ini? Jika itu keluar dari mulut seorang manusia biasa, betapa hinanya rakyat ini mendengar cakap pongah yang tak berisi itu? Rakyat kelaparan di Indonesia hari ini, bukan sedang tinggal dalam dunia ilusi. Pada sisi lain, jika janji tadi keluar dari mulut seorang RI 1, di mana tindakan konkret presiden dalam kasus-kasus korupsi?
Hentikan perampokan
            Pejabat kita telah berlomba korupsi. Apa boleh buat. Semua berjalan mulus karena Presiden SBY tidak tegas bahkan ia menelan janji basinya sendiri. Kepongahan penguasa pun dilanjutkan. Tak ayal perampokan uang negara berlanjut terus sampai-sampai mempersoalkan kehadiran KPK karena dinilai terlalu berwenang.
            Data terbaru mengenai cerita perampokan uang rakyat ini adalah senilai Rp 39,3 Triliun yang dihitung sejak 2004-2011 atau setara dengan pembangunan 393.000 rumah sederhana (Kompas, 5/12). Itu pun masih perhitungan “baik-baik”. Jika kita menoleh pada perhitungan ICW, misalnya, hal itu masih terlalu kecil atau sebagai puncak gunung es. Artinya, hasil rampokan para penjahat berdinas telah menyebabkan pemiskinan struktural. Lalu sampai kapan ini terjadi?
            Refleksi bangsa ini terhadap korupsi tidak bisa tidak secepatnya harus mengubah haluan. Haluan pemerintah yang selama ini tidak tegas menindak kasus perampokan uang rakyat supaya segera diakhiri. Menimbang hukum di negeri sungguh kurang tepat. Sebab hukum kita sudah berantakan, bahkan lebih jahatnya lagi, penegak hukum sendiri termasuk pelaku perampokan uang rakyat. Ironi ini sepertinya harus dijawab dengan kepedihan, jika tidak korupsi bukan hanya beregenerasi namun mungkin permanen.
            Berharap terhadap pemerintah, misalnya SBY sebagai pucuk pimpinan sudah tidak ada gunanya. Biarlah beliau menjalankan masa jabatannya dengan tenang. Karena itu, lain kali, rakyat sudah sesadar-sadarnya memilih pemimpin. Dalam keyakinan bersama, Indonesia pasti maju di masa mendatang, maka cukuplah sampai di sini buta terhadap calon pemimpin negeri kita. Kita tidak mau lagi ada pemimpin, tapi melanggengkan yang namanya korupsi. Lebih jauh, tak satu pun kebijakannya berdasarkan kenyataan yang diinginkan rakyat. Hampir segala kebijakannya diarahkan ke langit, langitnya kapital.
            Hendaknya melalui refleksi ini, kita tidak lagi terusik menyoal korupsi yang sudah sistemik. Saat ini, integritas di negeri ini telah dihilangkan pejabat korup dan pemerintah penindas rakyat itu. Ke depan, melalui pergulatan sama-sama, kita membawa nasib bangsa ke pintu gerbang kemerdekaan. Keserakahan, keangkuhan, kepongahan penguasa negeri hari ini bukan saja melukai secara moral, justru telah menciptakan dan melanggengkan penderitaan rakyat. Perampokan dilakukan dengan seenaknya. Tak ada lagi hukum yang dapat memaksanya berhenti, sebab juga pemerintah telah diam.
            Walaupun tertanggal sembilan, marilah kita rakyat yang memulihkan bangsa ini dari sarang perampokan. Sejatinya hanya rakyat sendiri yang bergerak, lalu kemudian pejabat korup mengerti arti penindasan. Sungguh teramat sayang, kala negeri ini merdeka dari penjajah Belanda dan Jepang, namun kini malah seenaknya diulang oleh penguasa yang tak tahu perjuangan. Karena itu toleransi terhadap perampokan uang negara sudah tidak ada batasnya. SBY sendiri telah berpesta di tengah-tengah penderitaan rakyatnya. Maka tak ada cara lain, selain rakyatlah yang menghentikan segala bentuk perampokan uang kita.***

Belajar Keras

Orang Cina mengajarkan kerja keras untuk menaklukkan hidup. Faktanya mereka mampu terus berpacu di tengah-tengah persoalan hidup yang barangkali mengepung tanpa pertimbangan apa pun. Memang sejak dulu Cina bergelut dalam dunia dagang. Hal itu menjadi modal utama mereka untuk mengungkit batu persoalan yang seolah tak mau sirna dari hadapan.
Pelajaran dari mereka ini sungguh seharusnya menempa orang berhati dan bertekad baja. Jadi, di mana pun berada ia akan selalu dapat bertahan. Walaupun demikian, orang Cina bukan hanya sebagai pedagang. Ada juga yang malah jadi tukang bangunan, cuma tetap mereka kerja keras. Dalam setiap perjalanannya, mereka selalu bekerja keras. Intinya ya bekerja keras.
Jika dibandingkan dengan orang-orang Indonesia, maka akan sangat sulit menemui sifat orang seperti mereka sekarang ini. Meskipun orang Indonesia sebenarnya bukan pemalas. Nah, jangan sekali-kali men-cap orang Indonesia sebagai pemalas. Sebetulnya mereka malas karena dimalaskan oleh sistem. Ini yang membuat orang Indonesia seperti ketinggalan. Lalu akhirnya salah paham. Bagaimana tidak, orang bertani dibilang malas karena petani di Indonesia tetap miskin. Bukankah itu sebuah penghinaan bagi petani?
Kedaulatan petani, sebagai pekerja keras sampai saat ini saya kira belum dikembalikan. Ini persoalan pokoknya. Seolah-olah saja orang kita sempurna dan lagi sejahtera. Padahal, sungguh tidak.
Kembali ke bekerja keras, apa yang sudah dipraktikkan Cina itu patut diteladani.